Jumat, 23 September 2016

Sunnatullah dan Cara Menyikapinya



Sunatullah dan Cara Menyikapinya
 

            Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa lepas dari kehendak (iradah) dari Sang Khaliq, yaitu Allah SWT. Selain itu, segala aktivitas manusia berada dalam pengawasan dan pengetahuan Allah (biasa disebut Ilmu Allah). Apapun yang menimpa manusia di dunia ini, sesungguhnya telah termaktub dalam kitab yang bernama Lauhul Mahfudz, jauh sebelum manusia diciptakan, bahkan telah ada sebelum hidup, kehidupan, dan alam semesta ini diciptakan.
            Pemahaman dangkal manusia tentang iradah Allah, ilmu Allah, dan Lauhul Mahfudz, membuat sebagian besar manusia malas untuk mengubah kondisi hidupnya dari miskin menjadi berkecukupan bahkan kaya, dari bodoh menjadi pintar, dan dari kafir menjadi muslim yang beriman. Mereka berargumen bahwa Allah sudah menentukan nasibnya seperti itu. Mereka mengatakan bahwa kondisi tidak ideal yang mereka alami sekarang merupakan buah dari ketetapan Allah, atau yang biasa disebut dengan takdir Allah. Bila pemahaman seperti ini terus menghiasi pemikiran sebagian besar umat Islam dewasa ini, maka wajarlah, di ujung zaman ini, umat Islam banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan ada yang bangga dengan hal itu! Mereka menganggap dirinya telah menjalankan salah satu perintah Allah, yaitu bertawakal, bertawakal menerima keadaan itu. Mereka juga menggunakan beberapa dalil untuk menguatkan pendapat mereka seperti yang tertuang dalam Al Qur’an Surat Al-Hadid: 22, Surat At-Taubah: 51, dan banyak ayat-ayat serupa lainnya.
            Padahal, bila kita teliti lebih dalam lagi, sebenarnya apa yang disebut dengan iradah Allah, ilmu Allah, dan Lauhul Mahfudz, tidak berkaitan dengan perbuatan manusia. Mengapa? Sebab konteks ayat di atas berhubungan dengan penciptaan, yaitu bahwa Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, Iradah Allah yang berkaitan dengan segala kemungkinan-kemungkinan, dan Lauhul Mahfudz yang mencakup segala sesuatu. Seluruh perkara yang dikait-kaitkan ini merupakan pembahasan lain, yang terpisah dari topik pahala dan siksa atas perbutan manusia.
            Oleh karena itu, seorang ulama besar Palestina, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah mengatakan bahwa Ilmu Allah, iradah-Nya, dan Lauhul Mahfudz digunakan oleh Allah untuk menjelaskan kekuasaan dan itu berkaitan dengan penciptaan, tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia. Maka, untuk mempermudah pemaham umat Islam tentang sunnatullah, maka beliau mengklasifikasikan perbuatan manusia ke dalam 2 area. Area pertama adalah area yang dikuasainya. Area ini berada di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatannya berada dalam ruang lingkup pilihannya sendiri. Sedangkan area kedua adalah area yang menguasainya. Pada area ini, seluruh perbuatan/kejadian tidak ada campur tangan manusia sedikitpun, baik perbuatan/kejadian itu berasal darinya atau yang menimpanya.
            Dengan demikian, istilah sunnatullah adalah bagian atau turunan dari area kedua yaitu area yang menguasainya. Dalam area kedua ini ada 2 hal yang harus kita pahami. Pertama adalah sunnatullah (nidzamul wujud) dan yang kedua adalah ghairu sunnatullah (la nidzamul wujud). Sunnatullah adalah suatu kejadian yang memaksa manusia untuk tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai dengan ketentuannya. Sebab, manusia berjalan bersama alam semesta dan kehidupan, sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak kuasa dilanggarnya. Bahkan, semua kejadian yang ada pada bagian ini muncul tanpa kehendaknya. Di sini manusia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih. Misalnya, manusia dating dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya. Ia tidak dapat terbang di udara tanpa bantuan alat. Ia tidak dapat berjalan di atas air hanya dengan tubuhnya. Ia sudah diciptakan sebagai pria atau wanita. Ia juga tidak dapat menciptakan warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya. Akan tetapi, semua itu diciptakan Allah SWT, tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikit pun dari hamba (makhluk)-Nya. Hanya Allah-lah yang menciptakan sunnatullah yang berfungsi sebagai pengatur alam ini. Alam diperintah untuk berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan-Nya tanpa kuasa untuk melanggarnya.
            Berbeda halnya dengan ghairu sunnatullah. Ia adalah kejadian yang tidak ditentukan oleh sunnatullah, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia. Ia  adalah kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya, seseorang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau mobil, karena kerusakan mendadak yang tidak bias dihindari, sehingga menyebabkan tewasnya para penumpang, dan sebagainya. Semua kejadian yang berasal dari manusia atau yang menimpanya ini, walaupun di luar kemampuannya tidak terikat dengan sunnatullah, tetapi tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya.
            Demikianlah, setelah kita mengetahui dan memahami tentang sunnatullah, maka kewajiban kita adalah menyikapinya secara proporsional. Semoga kita dapat berusaha sekuat tenaga untuk menggugurkan ikhtiar yang Allah kuasakan kepada kita, dan menerima segala sunnatullah yang sudah Allah tentukan. Semoga kita juga terhindar dari pemahaman kaum-kaum LGBT yang menolak sunnatullah, dan semoga kaum LGBT menyadari kesalahannya. Aamiin.


Salam dari saudaramu, Muhammad Imam Hilmi.             
Singaraja, 23 September 2016.