Sunatullah dan Cara Menyikapinya
Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa lepas dari
kehendak (iradah) dari Sang Khaliq, yaitu Allah SWT. Selain itu,
segala aktivitas manusia berada dalam pengawasan dan pengetahuan Allah (biasa
disebut Ilmu Allah). Apapun yang
menimpa manusia di dunia ini, sesungguhnya telah termaktub dalam kitab yang
bernama Lauhul Mahfudz, jauh sebelum
manusia diciptakan, bahkan telah ada sebelum hidup, kehidupan, dan alam semesta
ini diciptakan.
Pemahaman dangkal manusia tentang iradah Allah, ilmu Allah,
dan Lauhul Mahfudz, membuat sebagian
besar manusia malas untuk mengubah kondisi hidupnya dari miskin menjadi
berkecukupan bahkan kaya, dari bodoh menjadi pintar, dan dari kafir menjadi muslim yang beriman.
Mereka berargumen bahwa Allah sudah menentukan nasibnya seperti itu. Mereka
mengatakan bahwa kondisi tidak ideal yang mereka alami sekarang merupakan buah
dari ketetapan Allah, atau yang biasa disebut dengan takdir Allah. Bila pemahaman seperti ini terus menghiasi pemikiran
sebagian besar umat Islam dewasa ini, maka wajarlah, di ujung zaman ini, umat
Islam banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan ada yang bangga
dengan hal itu! Mereka menganggap dirinya telah menjalankan salah satu perintah
Allah, yaitu bertawakal, bertawakal
menerima keadaan itu. Mereka juga menggunakan beberapa dalil untuk menguatkan
pendapat mereka seperti yang tertuang dalam Al Qur’an Surat Al-Hadid: 22, Surat
At-Taubah: 51, dan banyak ayat-ayat serupa lainnya.
Padahal, bila kita teliti lebih dalam lagi, sebenarnya
apa yang disebut dengan iradah Allah,
ilmu Allah, dan Lauhul Mahfudz, tidak berkaitan dengan perbuatan manusia. Mengapa?
Sebab konteks ayat di atas berhubungan dengan penciptaan, yaitu bahwa Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, Iradah Allah yang berkaitan dengan
segala kemungkinan-kemungkinan, dan Lauhul
Mahfudz yang mencakup segala sesuatu. Seluruh perkara yang dikait-kaitkan
ini merupakan pembahasan lain, yang terpisah dari topik pahala dan siksa atas
perbutan manusia.
Oleh karena itu, seorang ulama besar Palestina, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah mengatakan bahwa Ilmu Allah, iradah-Nya, dan Lauhul
Mahfudz digunakan oleh Allah untuk menjelaskan kekuasaan dan itu berkaitan
dengan penciptaan, tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia. Maka, untuk
mempermudah pemaham umat Islam tentang sunnatullah, maka beliau
mengklasifikasikan perbuatan manusia ke dalam 2 area. Area pertama adalah area yang dikuasainya. Area ini berada
di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatannya berada dalam ruang lingkup
pilihannya sendiri. Sedangkan area kedua adalah area yang menguasainya. Pada area ini, seluruh perbuatan/kejadian
tidak ada campur tangan manusia sedikitpun, baik perbuatan/kejadian itu berasal
darinya atau yang menimpanya.
Dengan demikian, istilah sunnatullah adalah bagian atau turunan dari area kedua yaitu area
yang menguasainya. Dalam area kedua ini ada 2 hal yang harus kita pahami.
Pertama adalah sunnatullah (nidzamul wujud) dan yang kedua adalah ghairu sunnatullah (la nidzamul wujud). Sunnatullah
adalah suatu kejadian yang memaksa manusia untuk tunduk kepadanya. Manusia
harus berjalan sesuai dengan ketentuannya. Sebab, manusia berjalan bersama alam
semesta dan kehidupan, sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak kuasa
dilanggarnya. Bahkan, semua kejadian yang ada pada bagian ini muncul tanpa
kehendaknya. Di sini manusia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih. Misalnya,
manusia dating dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya. Ia tidak dapat
terbang di udara tanpa bantuan alat. Ia tidak dapat berjalan di atas air hanya
dengan tubuhnya. Ia sudah diciptakan sebagai pria atau wanita. Ia juga tidak
dapat menciptakan warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya. Akan tetapi,
semua itu diciptakan Allah SWT, tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikit pun
dari hamba (makhluk)-Nya. Hanya Allah-lah yang menciptakan sunnatullah yang berfungsi sebagai pengatur alam ini. Alam
diperintah untuk berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan-Nya
tanpa kuasa untuk melanggarnya.
Berbeda
halnya dengan ghairu sunnatullah. Ia
adalah kejadian yang tidak ditentukan oleh sunnatullah,
namun tetap berada di luar kekuasaan manusia. Ia adalah kejadian atau perbuatan yang berasal
dari manusia atau yang menimpanya, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan
untuk menolak. Misalnya, seseorang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang
lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja
mengenai seseorang hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau
mobil, karena kerusakan mendadak yang tidak bias dihindari, sehingga
menyebabkan tewasnya para penumpang, dan sebagainya. Semua kejadian yang
berasal dari manusia atau yang menimpanya ini, walaupun di luar kemampuannya
tidak terikat dengan sunnatullah,
tetapi tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya.
Demikianlah,
setelah kita mengetahui dan memahami tentang sunnatullah, maka kewajiban kita adalah menyikapinya secara
proporsional. Semoga kita dapat berusaha sekuat tenaga untuk menggugurkan ikhtiar yang Allah kuasakan kepada kita,
dan menerima segala sunnatullah yang
sudah Allah tentukan. Semoga kita juga terhindar dari pemahaman kaum-kaum LGBT
yang menolak sunnatullah, dan semoga
kaum LGBT menyadari kesalahannya. Aamiin.
Salam dari saudaramu,
Muhammad Imam Hilmi.
Singaraja,
23 September 2016.