Tugas manusia di dunia adalah beribadah kepada Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya: “Wa maa kholaqtul
jinna wal insa illa liya’buduun[i]” - Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [QS 51 : 56]. Meskipun
merupakan tugas, akan tetapi pelaksanaan ibadah bukan untuk Allah: “Maa ‘uriydu minhum mir-rizkin wa maa uriydu
an yuth’imuun[i]” - Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. [QS 51 : 57], karena
Allah tidak memerlukan apa-apa. Ibadah pada dasarnya adalah untuk kebutuhan dan
keutamaan manusia itu sendiri.
Ibadah berasal dari kata 'abada
yang arti bebasnya menyembah atau mengabdi merupakan bentuk penghambaan manusia
sebagai makhluk kepada Allah Sang Kholiq (Pencipta). Karena penyembahan atau pemujaan
merupakan fitrah (naluri) manusia, maka ibadah kepada Allah membebaskan manusia
dari pemujaan yang salah dan tidak dikehendaki oleh Allah.
Sehingga yang mengabdi (manusia) disebut Abid, sedangkan yang disembah disebut
Ma’bud. Ibadah memiliki aspek yang sangat luas. Sehingga segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah Ta’ala, baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara
lahir maupun batin, semuanya merupakan (dan dapat disebut dengan) ibadah.
Sedangkan lawan dari ibadah adalah ma'syiat.
Sehingga bentuk "Ibadah" ada dua :
Sehingga bentuk "Ibadah" ada dua :
1.
Ibadah Maghdhah (khusus); Yaitu ibadah yang ditentukan cara dan syaratnya
secara detil dan biasanya lebih bersifat RITUAL (misalnya : shalat, zakat, puasa,
haji, qurban, aqiqah, dll).
2.
Ibadah 'Amah (Muamalah); Yaitu ibadah dalam arti umum, sehingga segala bentuk
perbuatan maupun setiap aktifitas kebaikan manusia yang dilandasi oleh niatan
Akhlaso (kemurnian) semata-mata untuk mendapatkan ridho (restu) dari Allah
merupakan perwujudan dari penghambaan dan pengabdian ataupun penyembahan kepada
Allah. Misalnya : Mencari nafkah dalam bentuk aktifitas BISNIS, Hidup
bermasyarakat (bertetangga), Pergaulan dengan Kerabat, Hidup bernegara,
tolong-menolong, dll.
Sehingga kita jangan sampai terjebak untuk selalu membuat
DIKOTOMI dan selalu mempertentangkan kata Ibadah yang selalu diidentikan hanya
dengan kegiatan-kegiatan RITUAL. Sedangkan segala urusan Mua’amalah (kegiatan
BISNIS ataupun bermasyarakat, bertetangga dan bernegara sekalipun) selalu
diidentikan dengan urusan DUNIAWI belaka.
Kita sering tertipu sehingga selalu dirundung dalam
keraguan, kebingungan serta kegalauan di saat menghadapi tuntutan agar
memelihara “alat-Rezeki” yang telah diamanahkan oleh Allah kepada kita sebagai
hamba-Nya secara KASAB untuk dijadikan sebagai “Ladangnya Akhirat” yang paling
subur.
Selama kita masih ditempatkan oleh Allah dalam maqom (derajat) KASAB, belum sampai pada maqom TAJRID ya jalan saja secara harmoni setiap kegiatan "ibadah", baik yang khusus (ritual) maupun yang umum tanpa harus selalu menciptakan dikotomi yang membingungkan. Karena sebenarnya yang lebih penting untuk diperhatikan adalah masalah Ibadah Mu’amalah, karena ternyata malah bentuk ibadah ini justru dijadikan sebagai tolok ukur dari kualitas nilai IHSAN dari setiap Ibadah Khusus (Ritual) yang telah kita lakukan selama ini.
Allah menciptakan alam semesta (termasuk manusia) tidaklah dengan palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27). Segala ciptaan-Nya mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus meyadari terhadap tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia memiliki bebrapa tujuan hidup, diantaranya adalah sebagai berikut:
Selama kita masih ditempatkan oleh Allah dalam maqom (derajat) KASAB, belum sampai pada maqom TAJRID ya jalan saja secara harmoni setiap kegiatan "ibadah", baik yang khusus (ritual) maupun yang umum tanpa harus selalu menciptakan dikotomi yang membingungkan. Karena sebenarnya yang lebih penting untuk diperhatikan adalah masalah Ibadah Mu’amalah, karena ternyata malah bentuk ibadah ini justru dijadikan sebagai tolok ukur dari kualitas nilai IHSAN dari setiap Ibadah Khusus (Ritual) yang telah kita lakukan selama ini.
Allah menciptakan alam semesta (termasuk manusia) tidaklah dengan palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27). Segala ciptaan-Nya mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus meyadari terhadap tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia memiliki bebrapa tujuan hidup, diantaranya adalah sebagai berikut:
Menyembah
Kepada Allah (Beriman)
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan
sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur
yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja
dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki
oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap
posisi dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi
manusia dihadapan Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi”
dengan “raja”, yang harus menunjukan sifat pengabdiaan dan kepatuhan.
Sebagai agama yang haq, Islam menegaskan bahwa posisi
manusia di dunia ini adalah sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Posisi ini
menunjukan bahwa salah satu tujuan hidup manusia di dunia adalah untuk mengabdi
atau beribadah kepada Allah. Yang dimaksud dengan mengabdi kepada Allah adalah
taat dan patuh terhadap seluruh perintah Allah, dengan cara menjalankan seluruh
perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya dalam segala aspek
kehidupan. Dalam hal ini, Allah Swt. menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa tujuan
hidup manusia adalah semata-mata untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya (QS.
Adz-Dzariyat ayat 56 dan QS. Al-Bayyinah ayat 5).
Makna beribadah sebagaimana dikemukakan di atas (mentaati
segala perintah dan menjauhi larangan Allah) merupakan makna ibdah secara umum.
Dalam tataran praktis, ibadah secara umum dapat diimplementasikan dalam setiap
aktivitas yang diniatkan untuk menggapai keridlaan-Nya, seperti bekerja secara
professional, mendidik anak, berdakwah dan lain sebagainya. Dengan demikian,
misi hidup manusia untuk beribadah kepada Allah dapat diwujudkan dalam segala
aktivitas yang bertujuan mencari ridla Allah (mardlotillah).
Sedangkan secara khusus, ibadah dapat dipahami sebagai
ketaatan terhadap hukum syara’ yang mengatur hubungan vertical-transendental
(manusia dengan Allah). Hukum syara’ ini selalu berkaitan dengan amal manusia
yang diorientasikan untuk menjalankan kewajiban ‘ubudiyah manusia, seperti
menunaikan ibadah shalat, menjalankan ibadah puasa, memberikan zakat, pergi
haji dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa tujuan hidup manusia yang pertama adalah menyembah kepada
Allah. Dalam pengertian yang lebih sederhana, tujuan ini dapat disebut dengan
“beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi individu yang beriman kepada
Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan dari syirik, sehingga dalam
kehidupannya manusa sama sekali tidak dibenarkan menyekutukan Allah dengan
segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini (Syirik).