Rabu, 04 Januari 2017

MANUSIA SEBAGAI MAKHKLUK BUDAYA


            Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, dari istilah-istilah harafiah tersebut, bila kita ramu, maka manusia yang berbudaya adalah manusia yang berbudi, berakal, dan mampu mengolah informasi. Oleh karena itu, manusia sering dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya atau pun makhluk yang berakal.
            Potensi akal yang dimiliki oleh manusia, menyebabkan dia berbeda dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu, banyak nash-nash di dalam Al Qur’an yang mengajak manusia menggunakan akalnya untuk memikirkan benda-benda ciptaan Allah yang disebar di alam semestanya, untuk memikirkan darimana kita berasal, untuk apa kita hidup di dunia ini, dan akan kemanakah kita nantinya? Salah satu nash yang berbicara tentang perintah untuk mentadabburi alamnya adalah surat Al Baqaroh ayat 164 yang artinya:

“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, dan pertukaran malam dan siang, dan pada kapal-kapal yang berlayar di laut dengan membawa benda-benda yang bermanfaat kepada manusia, demikian juga pada air hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai jenis binatang, demikian juga pada peredaran angina dang awan yang tunduk kepada kuasa Allah terapung-apung di antara langit dan bumi, sesungguhnya ada tanda-tanda bagi kaum yang menggunakan akal pikiran”.

Sangat jelas ayat di atas mengajak manusia untuk menggunakan akalnya untuk memikirkan dan memerhatikan bagaimanakah alam semesta dan berbagai macam fenomena alam yang terjadi dciptakan dan diatur sedemikian rupa. Hal ini dilakukan agar manusia tidaklah sombong dalam menjalani kehidupannya. Di sisi lain, Allah juga menyebutkan manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan sebutan “makhluk yang sangat jelek”, hal ini seperti yang termaktub dalam surat Al Anfaal ayat 22 yang artinya:

“Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang melata di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak mau menggunakan akalnya”.

Oleh karena itu, Islam sangat menuntut manusia untuk mau dan terus menggunakan akalnya dalam menjalani kehidupan ini, agar kehidupannya tenang, tentram, damai, penuh keadilan, dan sejahtera. Karena, manusia yang menggunakan akalnya dalam menjalani setiap aktivitas hidupnya adalah manusia yang diridhoi oleh Allah SWT, sebab dia mau tunduk dan patuh kepada seluruh perintah dan larangan Allah SWT, yang terangkum dalam Syari’at Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.