Rabu, 04 Januari 2017

MANUSIA SEBAGAI MAKHKLUK MORAL


             Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral yang artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Lalu, ketika berbicara tentang moralitas, maka moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk (Bertens, 2002:7). Moralitas juga berperan sebagai pengatur dan petunjuk bagi manusia dalam berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku yang buruk (Keraf, 1993:20).

              Menurut perspektif Islam, moral manusia yang beriman adalah manusia yang menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Manusia bermoral sering juga disebut sebagai manusia yang bertaqwa. Oleh karenanya, manusia akan disebut sebagai manusia yang bermoral atau manusia yang bertaqwa manakala mereka menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah, sehingga manusia yang tidak menjalankan aktivitasnya sesuai dengan dua sumber tersebut dapat digolongkan sebagai manusia yang tidak bermoral atau manusia yang tidak bertaqwa.

            Oleh karena itu, untuk memudahkan manusia menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, maka Islam menggolongkan segala aktivitas dan perbuatan manusia ke dalam 5 hukum yaitu wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh, dan haram, sedangkan hukum benda ada 2 yaitu halal dan haram.

Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk memahami kelima hukum tentang perbuatan dan kedua hukum tentang benda, sehingga kita tergolong manusia yang bermoral atau manusia yang bertaqwa agar mendapatkan ganjaran yang setimpal dari-Nya yaitu Surga.


MANUSIA SEBAGAI MAKHKLUK BUDAYA


            Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, dari istilah-istilah harafiah tersebut, bila kita ramu, maka manusia yang berbudaya adalah manusia yang berbudi, berakal, dan mampu mengolah informasi. Oleh karena itu, manusia sering dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya atau pun makhluk yang berakal.
            Potensi akal yang dimiliki oleh manusia, menyebabkan dia berbeda dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu, banyak nash-nash di dalam Al Qur’an yang mengajak manusia menggunakan akalnya untuk memikirkan benda-benda ciptaan Allah yang disebar di alam semestanya, untuk memikirkan darimana kita berasal, untuk apa kita hidup di dunia ini, dan akan kemanakah kita nantinya? Salah satu nash yang berbicara tentang perintah untuk mentadabburi alamnya adalah surat Al Baqaroh ayat 164 yang artinya:

“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, dan pertukaran malam dan siang, dan pada kapal-kapal yang berlayar di laut dengan membawa benda-benda yang bermanfaat kepada manusia, demikian juga pada air hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai jenis binatang, demikian juga pada peredaran angina dang awan yang tunduk kepada kuasa Allah terapung-apung di antara langit dan bumi, sesungguhnya ada tanda-tanda bagi kaum yang menggunakan akal pikiran”.

Sangat jelas ayat di atas mengajak manusia untuk menggunakan akalnya untuk memikirkan dan memerhatikan bagaimanakah alam semesta dan berbagai macam fenomena alam yang terjadi dciptakan dan diatur sedemikian rupa. Hal ini dilakukan agar manusia tidaklah sombong dalam menjalani kehidupannya. Di sisi lain, Allah juga menyebutkan manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan sebutan “makhluk yang sangat jelek”, hal ini seperti yang termaktub dalam surat Al Anfaal ayat 22 yang artinya:

“Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang melata di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak mau menggunakan akalnya”.

Oleh karena itu, Islam sangat menuntut manusia untuk mau dan terus menggunakan akalnya dalam menjalani kehidupan ini, agar kehidupannya tenang, tentram, damai, penuh keadilan, dan sejahtera. Karena, manusia yang menggunakan akalnya dalam menjalani setiap aktivitas hidupnya adalah manusia yang diridhoi oleh Allah SWT, sebab dia mau tunduk dan patuh kepada seluruh perintah dan larangan Allah SWT, yang terangkum dalam Syari’at Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sabtu, 24 Desember 2016

Mengapa Nabi Diutus ke Dunia Sebagai Penyempurna Akhlak?

Ketika membaca judul di atas, apa yang Anda pikirkan?

Anda telah mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasul yang Allah utus untuk menyempurnakan akhlak manusia yang pada saat itu sangat jahiliyah sekali. Jahiliyah di sini dalam artian bahwa segala tindakan dan aktivitas masyarakat Arab pada waktu itu sangat tidak berperikemanusiaan dan tidak bermoral. Pada saat itu, masyarakat Arab melakukan hal-hal yang di luar norma menurut penilaian kita saat ini, seperti minum-minuman keras yang membudaya, perjudian yang sudah biasa, pelacuran merebak dimana-mana, pembunuhan terhadap anak perempuan, melakukan thawaf mengelilingi Ka'bah dengan bertelanjang bulat, sihir yang sudah biada dilaksanakan, dan aktivitas-aktivitas terlarang lainnya.

Oleh karena itu, kondisi yang rusak seperti ini selalu dibarengi dengan adanya pemimpin revolusioner di tengah-tengah mereka. Keterpurukan dan kehinaan masyarakat menurut pandangan Islam sangat merebak di wilayah Mekkah pada saat itu. Di sinilah saat yang tepat munculnya pemimpin yang akan mengubah kondisi seperti ini. Seorang pemuda, Muhammad, yang sudah tersohor dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya) terpilih sebagai Rasul Allah.

Inilah sebabnya, Nabi Diutus ke Dunia Sebagai Penyempurna Akhlak.  

Manusia Sebagai Makhluk Peneliti

Allah telah menciptakan manusia dengan banyak fungsi dan kegunaan. Salah satunya yaitu sebagai makhluk peneliti dengan landasan Surah Al-`Alaq ayat 1-5 sebagai berikut:

Artinya : “Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. (1) Bacalah (nyatakanlah) dengan nama Tuhan mu yang telah menciptakan (segala sesuatu di alam semesta ini). (2) Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah beku. (3) Bacalah (umumkanlah !) dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. (4) yang mengajarkan dengan pena. (5) Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.    














Dari ayat ini, manusia dapat meneliti apa-apa yang ada di alam dengan dasar membaca terlebih dahulu, karena membaca merupakan dasar untuk menguasai suatu wawasan. Dengan perantara membaca, manusia mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan perantara membaca, manusia dapat memilih aktivitas yang sesuai dengan syari'at Islam.

Semua kegiatan yang kita lakukan atau kita kerjakan haruslah diawali dengan membaca Basmallah. Karena dengan menyebut nama Allah, semua hal positif yang kita kerjakan akan bernilai dihadapan Allah. Dan apabila semua tidak diawali dengan menyebut nama Allah, maka sia-sia lah pekerjaan itu. Karena hanya akan bernilai sama dengan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang tidak beriman. Kemudian dalam ayat itu pula Allah menegaskan bahwa Allah akan memberikan ilmu kepada manusia jika manusia itu membaca karena memang itulah janji Allah.  Dalam hal ini membaca juga memiliki maksud yakni diantaranya ilmu yang Allah janjikan. Karena membaca adalah kunci utama dalam mendapatkan ilmu. Seperti kata mutiara yang sering kita dengar bahwa buku adalah jendela dunia. Yang sebenarnya dimaksudkan agar kita rajin-rajinlah membaca agar ilmu kita semakin luas.

Tetapi Allah juga menegaskan bahwa ilmu yang diturunkan kepada manusia adalah sebagian kecil dari ilmu yang dimiliki Allah. Ilmu Allah diibaratkan bagaikan ilmu yang jika ditulis dengan tujuh samudra di bumi ini sebagai tinta, dan ranting-ranting di seluruh dunia sebagai penanya, maka itu tidaklah cukup untuk menulis ilmu yang Allah miliki. Sehingga, salah apabila meyakini AlQuran sebagai isi dari seluruh ilmu Allah. Tetapi AlQuran merupakan isi dari sebagian kecil ilmu yang Allah turunkan atau Allah karuniakan kepada manusia.

Dalam tragedi perang  Salib, Bangsa Barat mengambil alih perpustakaan terbesar yang dimiliki kaum muslimin. Buku-buku dalam perpustakaan tersebut sebagian mereka bakar, dan sebagian yang menurut mereka itu penting mereka klaim sebagai milik mereka. Mereka juga mengganti beberapa nama penemu-penemu Islam yang mereka ubah menyerupai nama barat. Nama tersebut seperti AVICENA yang sebenarnya adalah IBNU SINA, dan juga AVEROUS yang sebenarnya adalah IBNU RUSYD. Karena kejadian tersebut, para muslimin sempat berfikir apakah Islamisasi Sains itu diperlukan? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Karena Allah menurunkan ilmu-Nya untuk semua orang, tidak hanya kepada kaum Muslimin, tetapi juga kepada kaum lain. Allah memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk memiliki ilmu. Allah mengizinkan itu semua, namun berbedalah antara mengizinkan dengan meridhoi. Dan ilmu itu didapat tidak hanya sekedar membaca tulisan saja, tetapi juga membaca situasi, alam, dan lain sebagainya.

Dalam mencari ilmu inilah manusia zaman sekarang harus membuktikan semuanya secara empirik sehingga memerlukan sebuah penelitian. Seperti misalnya manfaat sholat yang sudah pernah diteliti dan dibuktikan dengan manfaat yang didapat seperti kebugaran dan kesehatan baik jasmani maupun rohani. Dan juga beberapa penelitian yang sebenarnya dilakukan untuk membuktikan apa yang terdapat atau disebutkan dalam Al-Quran sampai semuanya terbukti baru manusia akan percaya. Maka dari itulah mengapa manusia disebut sebagai makhluk peneliti.



Manusia Sebagai Makhluk Belajar

Ada satu kata atau istilah, yaitu “belajar” yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Karena aktivitas belajar itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti binatang misalnya. Karena aktivitas belajar pula yang mengantarkan seorang manusia menjadi berilmu, yang selanjutnya memosisikan manusia menjadi makhluk yang paling mulia diantara makhluk yang ada di muka bumi ini. Karena belajarlah, manusia bisa bertahan hidup dan bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Karena belajarlah, manusia bisa memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi. Karena belajarlah, manusia bisa mengembangkan budayanya, dan karena belajar pula, manusia bisa menguasai alam dan bisa mengubah wajah dunia ini.

Coba kita perhatikan bagaimana kehidupan binatang, apapun jenisnya. Binatang hanya mengandalkan instink untuk dapat memenuhi hidupnya dan mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupan binatang dari waktu ke waktu hanya begitu-begitu saja. Tidak ada binatang yang mampu mengembangkan kreativitas untuk memperbaiki derajat kehidupannya. Persoalan ada binatang yang dianggap pandai, sehingga dapat mengikuti perintah manusia, itu juga hanya sebatas instinknya saja, bukan hasil belajar.

Dalam kehidupan manusia, belajar adalah kata kunci yang menjadi ciri sekaligus potensi bagi umat manusia. Belajar telah menjadi atribut manusia. Potensi belajar merupakan kodrat sekaligus fitroh bawaan sebagai karunia dari Sang Maha Pencipta, Allah, swt. Belajar adalah kebutuhan hakiki dalam hidup manusia di muka bumi ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belajar adalah “energi kehidupan” umat manusia yang dapat mengusung harkat kemanusiaannya menjadi sosok beradab dan bermartabat.

Belajar adalah suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami manusia sejak manusia di dalam kandungan, buaian, tumbuh  berkembang dari anak-anak, remaja sehingga menjadi dewasa, sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat. Sebagaimana telah dituntunkan dalam Islam, belajar seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat, minal mahdi ilal lahdi, from cradle to the grave.

Teori sains terakhir bahkan mengungkapkan bahwa calon manusia telah mulai belajar saat juataan sperma berjuang mencapai ovum dalam uterus. Jutaan sperma itu seolah saling berjuang, berebut dan berlomba mencapai ovum, banyak di antaranya yang gugur di tengah jalan. Uniknya, satu atau dua sperma ( pada kasus kembar tidak identik ) mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sisa ribuan sperma yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah di buahi. Ternyata …yang bermula dari satu atau dua sperma itu adalah kita, dan kitalah yang menjadi pemenangnya sebagai buah dari proses belajar, setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan. Demikianlah, calon manusia ini telah belajar berjuang, beradaptasi, bersaing, tetapi juga bekerja sama dan berkurban untuk kepentingan sesama.

Secara teoritik, belajar dapat dimaknai sebagai suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Dengan demikian buah dari proses belajar tersebut dapat berupa bertambahnya pengetahuan, adanya peningkatan keterampilan, semakin sempurnanya perilaku dan sikap serta semakin matang kepribadian. Dalam konteks proses  memperoleh pengetahuan, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman ( experience ). Pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan ( knowledge ). Dalam perspektif sains, ada anggapan bahwa pengetahuan sudah terserak dan tersebar di alam semesta ini, tinggal bagaimana manusia bereksplorasi, menggali dan menemukan kemudian memungutnya, untuk memperoleh pengetahuan. Begitu pentingnya makna pengalaman yang berujung pada terjadinya pengendapan akan pengetahuan, sehingga muncul pepatah : pengalaman adalah guru yang paling baik,  experience is the best teacher, dalam pepatah Minangkabau dinyatakan dengan sebutan ; alam takambang menjadi guru atau alam berkembang menjadi guru.

Pada dasarnya semua manusia pernah mengalami atau memiliki pengalaman belajar yang sangat menakjubkan. Ketika bayi, kita mulai belajar menggerak-gerakkan organ tubuh, belajar mengidentifikasi, belajar berbicara, belajar berjalan dan sebagainya, nyatanya kita bisa bergerak, bisa mengenal lingkungan, bisa berbicara, dan bisa berjalan dengan sempurna. Artinya kita telah mampu berjuang menghadapi berbagai tantangan dalam belajar, seperti berkali-kali jatuh ketika belajar berjalan namun akhirnya berhasil dan sukses. Demikian pula ketika belajar naik sepeda, berapa kali kita jatuh dan terluka, namun kita tetap belajar terus tanpa menyerah dan akhirnya kita bisa naik sepeda bahkan berbagai kendaraan lainnya. Itu semua adalah pengalaman sukses belajar. Dalam berbagai sisi kehidupan lainnya masih banyak lagi pengalaman sukses belajar yang telah dan terus akan kita alami dari hari ke hari.

Akan tetapi dalam perkembangannya, manusia termasuk kita semua sering melupakan pengalaman sukses tersebut, atau barangkali justru tidak menyadari bahwa apa yang kita alami itu sebagai buah dari sukses belajar, sehingga tidak tumbuh keinginan untuk mengulangi dan menghadirkan sukses-sukses berikutnya dalam kehidupan yang lebih luas. Dari uraian di atas, dapat kita tarik bahwa sebenarnya aktivitas belajar merupakan suatu kebutuhan, bukan beban, bahkan setiap diri manusia telah dibekali potensi untuk mampu belajar ( dalam arti luas ).

Jikalau roh belajar tersebut sudah terpatri dalam setiap individu dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan ( need ), niscaya budaya belajar ( learning culture ) dapat terbangun dan terwujud.
Jika budaya belajar sudah mengkondisi dalam suatu masyarakat sekolah ( school community ) niscaya prosesi ujian nasional, ulangan akhir semester atau eveluasi apapun tidak akan memicu kegalauan bagi para siswa, orang tua, maupun sekolah itu sendiri. Untuk itu upaya membangkitkan semangat belajar ini senantiasa menjadi tema yang menarik untuk didiskusikan.


Salah satu resep yang paling mujarab dalam membangun spirit belajar ini adalah dengan menumbuhkan dan membangun kesadaran dari dalam diri masing-masing, karena motivasi dari dalam lebih memiliki makna yang kuat dibanding dengan dorongan apalagi paksaan dari luar. Ingat falsafah telur ? sebuah telur yang pecahnya dari dalam ( karena dierami induknya ) niscaya akan membuahkan seekor makhluk baru, artinya ada buah yang berupa “kehidupan”, dan setiap kehidupan mesti akan memberi harapan. Lain halnya jika telur tersebut pecahnya dari luar, maka yang terjadi adalah kehancuran. Demikian pula dalam hal belajar, jika dorongan belajar berasal dari dalam diri setiap individu, tentu akan timbul pencerahan dan harapan. Akan tetapi kalau belajar harus dipaksa dari luar, yang terjadi adalah keterpaksaan yang pada gilirannya akan memicu kehancuran.

Berbisnis dengan Allah

Manusia tentu selalu mengadakan jual beli dengan sesamanya setiap waktu. Namun, sesungguhnya jual beli dengan Allah merupakan jual beli yang luar biasa mahal. Bila manusia mampu berjual beli dan berbisnis dengan Allah, maka ganjarannya adalah surga.

Apa yang kita jual, dan berapa harganya?

Dalam Al Qur'an Surat As-Shaff ayat 10 - 13, Allah menyatakan penawaran-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? [yaitu] kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan [memasukkan kamu] ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.  Dan [ada lagi] karunia yang lain yang kamu sukai [yaitu] pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat [waktunya]. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. (QS As-Shaff : 10-13).

Lalu, diperkuat lagi dalam:

“Sesungguhnyà Allah telah membeli dari orang-orang mü’min, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka dibunuh atau terbunuh. Itu yang menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al Qur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan, dan itulah kemenangan yang besar”. (At Taubah: 111).

Jadi di sini kita bisa melihat:
Allah mengajak orang beriman, karena meskipun Muslim tapi kalau tidak beriman belum tentu ia mau menyerahkan segalanya hanya untukNya.

Yang Allah minta adalah:
  • Beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
  • Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa.
Yang Allah tawarkan sebagai “bayaran” adalah:
  • Ampunan dari dosa-dosa.
  • Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
  • Tempat tinggal yang baik dalam Surga Adn.
  • Keselamatan dari azab yang pedih.
Di ayat berikutnya Allah memberikan contoh seperti yang terjadi dengan pengikut Nabi Isa as:

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong [agama] Allah sebagaimana Isa putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku [untuk menegakkan agama] Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan [yang lain] kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. As-Shaff : 10-13).

Di sini Allah menggambarkan bahwa orang yang menerima tawaran Allah menjadi penolong agama Allah akan menjadi pemenang.

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan solat dan menafkahkan sebahagian daripada rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. (QS Fatir: 29).

Perumpamaan [nafkah yang dikeluarkan oleh] orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan [ganjaran] bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas [karunia-Nya] lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqaroh: 261). 

Di surat-surat di atas ini Allah memberikan tawaran juga untuk orang yang:
  • Membaca kitab Allah.
  • Mendirikan shalat.
  • Menafkahkan sebagian rizki dengan diam-diam atau terang-terangan.
     

Ibadah Ghoiru Mahdoh

Manusia adalah makhluk Ibadah. Artinya, manusia hidup di dunia ini tidak terlepas dari aktivitas penyembahan dan peribadatan kepada Allah SWT. Segala aktivitas dan perbuatan manusia harus diniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT agar aktivitas dan kegiatannya tidak sia-sia. Secara umum, bentuk ibadah dalam Islam dibagi menjadi 2 macam yaitu ibadah mahdoh dan ibadah ghoiru mahdoh.

Ibadah Mahdoh adalah ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain oleh Allah SWT kemudian diperintahkan kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengerjakannya. Seperti shalat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada Rasulullah s.a.w. kemudian  wajib ditirukan oleh umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikit pun. Ibadah Mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
  • Wudhu,
  • Tayammum
  • Mandi hadats
  • Shalat
  • Shiyam (Puasa)
  • Haji
  • Umrah
Sedangkan, ibadah ghoiru mahdoh adalah seluruh perilaku seorang hamba yangdiorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah s.a.w..
Dalam hadis Jarir ibn `Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. saw. bersabda:

« مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».

Barangsiapa merintis jalan yang baik dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan hasanah), maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis jalan yang buruk dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan sayyi-ah), maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun dosa mereka.” (Lihat antara lain: Shahih Muslim, II: 705, Hadis senada diriwayatkan oleh 5 imam antara lain, Nasa’i, Ahmad, Turmudi, Abu Dawud dan Darimi).

Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah Ghairu Mahdhah atau umum ialah: segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah mencakup aspek pendidikan, aspek hokum, aspek persanksian, aspek politik, aspek ekonomi, aspke sosial, dakwah, tolong-menolong,  dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a.      Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b.      Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah s.a.w., Karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka  bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c.       Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d.      Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Maka segala bentuk kegiatan baik yang ditujukan untuk meraih ridha Allah masuk ke dalam ranah ibadah ghairu Mahdhah.